GEMBELE
NJALUK APA?
Sebuah
Hasil Studi Lapangan dengan Metode Penelitian Etnografi
Pendahuluan
Indonesia
terdiri atas masyarakatnya yang sangat multikultural mulai dari Sabang hingga
ujung Merauke. Namun, perbedaan ini tak lantas membuat cita-cita persatuan atas
nama bangsa Indonesia terhalang. Perbedaan-perbedaan yang ada justru menjadi
element penting untuk saling melengkapi satu sama lain. Perbedaan yang ada baik
dalam hal kebudayaan, suku, fisik, agama, adat, tradisi, bahasa dan masih
banyak lagi. Salah satu perbedaan yang ada adalah dengan keberadaannya anak
gimbal di desa Kaliputih, Tempuran, Wanayasa, kabupaten Banjarnegara, Jawa
Tengah. Tak hanya perbedaan fisik semata, banyak aspek non fisik yang pada
akhirnya terinternalisasi dan menjadi sebuah kebudayaan. Mayoritas warga disana
adalah sebagai petani kebun dan pengangkut sayuran. Bahasa yang biasa mereka
pakai adalah Bahasa Jawa Ngapak. Alam
yang tak berbatas dengan hamparan sawah yang luas menjadi berkat tersendiri
bagi warga disana untuk bisa menikmati kehadiran hasil cipta Tuhan.
Masyarakat di kawasan lerang Sindoro dan Sumbing
mempercayai bahwa anak-anak berambut gimbal merupakan
karunia
atau anugerah, bukan musibah atau
kutukan, sehingga mereka akan merasa bersyukur jika salah satu anak atau
anggota keluarga mereka mempunyai rambut gimbal. Hal ini tidak dipandang
sebagai aib keluarga. Bahkan, orangtua
dari anak gimbal ini yakin bahwa anak tersebut bukan murni anaknya sendiri,
melainkan titipan dari dewa, sehingga orang tua akan sangat memberikan
perhatian kepada anak-anak ini. Apapun permintaan anak ini akan dituruti,
sehingga dalam banyak hal, anak gimbal tampak lebih manja dari anak lain yang
tidak gimbal. Anak gimbal atau yang masyarakat akrab sebut
sebagai anak gembel tersebar di daerah kabupaten Wonosobo dan pinggiran
Banjarnegara. Memang mayoritas terpusat di Dieng, Wonosobo dan sedikit yang
berada di Banjarnegara. Seperti temuan saya dan teman-teman kelompok 8 berhasil
mendapatkan informasi keberadaan anak gimbal yang hanya satu-satunya di desa
Kaliputih, Banjarnegara yakni anak dari Bapak Misno dan Bapak Bona. Anak gimbal
Pak Misno bernama Deva Noviana dan Devi Noviani, dan anak dari Pak Bona bernama
Astrit Dwi Sari.
Deva
dan Devi mereka memang anak kembar yang dilahirkan selang 2 detik saja melalui
operasi Caesar. Keluarga Deva dan Devi tinggal serumah bersama nenek, kakek,
paman, ayah dan ibu. Nenek Deva dan Devi bernama ibu suryati, kakek bernama
bapak Hermanto, Ayah bernama Bapak Misno, Ibu bernama Supriyati dan paman
bernama Aji. Sebagai satu keluarga besar
yang tinggal satu rumah mereka saling membantu dalam berbagai hal utamanya dalam
pemenuhan kebutuhan. Rumah yang mereka tempati teridiri atas satu ruang tamu,
dua kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi. Ada beberapa hal yang khas
dari rumah ini, yakni dapur yang masih menggunakan tungku, jendela yang
biasanya dibuka dari bawah dirumah ini dibuka dari atas. Namun tak ada
penjelasan pasti mengapa jendela harus di buka dari atas, karena menurut Ibu
Supriyati tidak ada alasan khusus mengapa jendelanya seperti itu dan mengapa
lebih memilih tungku dari pada kompor karena alasan kebiasaan masyarakat
disana, meskipun sebenarnya di dapur mereka ada satu kompor gas.
Berbeda
dengan Deva dan Devi, Astrit Dwi Sari tinggal bersama Ayah, Ibu dan Kakaknya
disebuah rumah yang tidak jauh dari rumah Deva dan Devi. Dan perlu diketahui
bahwa keluarga Astrit dan Deva Devi adalah masih bersaudara. Tali persaudaraan
mereka karena simbah mereka kakak
beradik. Tapi ada kecenderungan bahwa di desa tersebut memang masih saling
bersaudara dekat. Usia Astrit saat ini 12 tahun, jadi, sekarang sebenarnya ia sudah tidak gimbal lagi
karena telah dicukur 6 tahun lalu. Astrit
kini duduk di kelas 6 SD yang jarak tempuhnya sekitar 20 menit dari rumah.
Kemunculan
rambut gimbal pada Deva dan Devi dimulai saat mereka menginjak usia satu tahun.
Seperti dalam petikan transkrip yang berbunyi “Pertama itu dia demam tinggi
sampe 40ᵒ terus gak sembuh-sembuh akhirnya dibawa ke puskesmas. Ternyata
diobatin di puskesmas juga gak sembuh dan akhirnya sampe diopname di rumah
sakit. Tapi, obat dari dokter juga gak mempan terus pas dialitin besoknya
ternyata tumbuh gembel. Buat mastiin itu gimbal apa bukan rambutnya disisir,
ternyata abis disisir demamnya tambah tinggi. Berarti iki gembel tenanan. Mboke
ngomong “iyo ora ngapa nek tumbuh gembel seng penting bocahe waras” artinya muncul rambut gembel berawal dari
demam tinggi sampai 40ᵒ dan tidak kunjung sembuh walau sudah dibawa ke
puskesmas, hingga opname. Obat-obatan yang diberikan oleh dokter tidak
memberikan kesembuhan, hingga pada akhirnya dikemudian hari rambut keduanya
muncul rambut gembel pari (gimbal dalam ukuran kecil-kecil). Untuk
memastikan apakah itu gimbal atau bukan dengan cara menyisirinya, dan setelah
disisir ternyata demamnya tambah tinggi. Nenek dari Deva Devipun berkata, tidak
papa jika anak itu gimbal yang penting anaknya sehat.
Kemunculan
pada rambut Astrit sendiri berbeda dengan apa yang dialami Deva dan Devi,
seperti dalam petikan transkrip berikut “bengkel si niku, bengkel (sirahe
sakit) nggeh niku tukul gimbal.” Yang artinya rabut gimbal diawali dari
rasa sakit yang muncul dikepala kemudian muncul rambut gimbalnya. Jenis rambut
gimbal Astrit berbeda dengan Deva dan Devi, jika Deva dan Devi rambut gimbal
pari dengan ukuran yang kecil-kecil sedangkan Astrit berukuran besar dan
menggumpal yang bernama gimbal gelung.
Saat mereka
gimbal terdapat banyak persamaan sifat yang dipercaya oleh masyarakat setempat
memang melekat pada anak gembel disana yakni cenderung nakal, apa yang diminta
harus dituruti dan selalu mengalami demam saat gimbalnya akan tumbuh.
Kecenderungan ini tidak bisa dijelaskan secara harfiah karena ini memang
kepercayaan dari masyarakat disana dan hingga sekarang memang masih dipercaya.
Kepercayaan ini juga masih dipercaya oleh orang tua dari Astrit, Deva dan Devi.
Mereka mengganggap bahwa menjadi gembel adalah takdir yang harus
diterima. Masyarakat sekitar sebenarnya tidak terlalu menganggap gembel sebagai
sesuatu yang istimewa, dan dianggap hal yang “biasa saja” dan mungkin itu hanya
karena keturunan. Seperti nenek Deva dan Devi yang dahulunya juga pernah
gimbal, mungkin itu sebabnya sekarang Deva dan Devi menjadi gimbal dan juga ibu
Astrit yang dulunya gimbal.
Salah satu
tradisi yang harus diadakan oleh pihak keluarga yang memiliki anak gimbal
adalah selametan pencukuran rambut yang dimaksudkan untuk menghilangkan rambut
gimbal tersebut. Ada perlakuan istimewa terhadap anak gimbal saat pemotongan
rambut gimbalnya, yakni keluarga harus mengabulkan satu permintaan anak
tersebut. Namun ada hal yang tidak bisa dijelaskan secara pasti dari mana asal
permintaan anak tersebut. Seperti misalnya nenek Deva Devi yang meminta paha
ayam, Astrit meminta iwak disunduki (sate). Untuk saat ini memang Deva
dan Devi belum melaksanakan pemotongan rambut dikarenakan kepercayaan
masyarakat disana memperbolehkan pemotongan jika anak tersebut dianggap sudah
mempunyai logika (maksudnya sudah bisa menyimpan memori perjalanan hidup) yaitu
sekitar umur 3-7 tahun, dan lazimnya diadakan saat usia mereka menginjak 7
tahun. Tradisi pemotongan bisa dilaksanakan dirumah, namun sejak 2010
pemerintah daerah telah memfasilitasi pemotongan masal di Dieng, Wonosobo
bersamaan dengan event tahunan Dieng Culture Festival. Jika pelaksanaan
dirumah maka biasanya dihadiri oleh tetangga sekitar dan dukun bayi yang
nantinya akan memotong rambut si gembel hingga botak, jika tidak botak
ditakutkan akan tumbuh gimbal lagi. Keluarga Astrit sendiri mengadakan acara
pemotongan secara pribadi dirumahnya, seperti data transkrip yang disampaikan
Bapak dari Astrit berikut “ Udah mas, pas dipotong sakit banget mas katanya.
Panas, rewel. Gembel itu ada setannya mas, enten setane. Rambut setan hehe.”
Pembahasan
Dalam
penelitian etnografi, penjelasan tentang budaya dengan maksud untuk mempelajari dan memahami
tentang kehidupan individu. Etnografi berarti dari orang, yang menjelaskan
secara langsung dari kultur dan subkultur individu tersebut. Metode penelitian etnografi hanya berdasarkan data
empiris saja tanpa ada asumsi-asumsi dari peneliti itu sendiri, jadi hanya
murni dari data lapangan yang didapat. Realitas kehidupan masyarakat dan anak
gimbal tersebut bisa dikorelasikan dengan sebuah teori sosiologi yakni Teori Habitus karya Bourdie. Teori ini
menyebutkan bahwa “habitus adalah struktur-struktur mental atau kognitif
melalui mana orang berurusan dengan dunia sosial. Orang dikaruniai dengan
serangkaian skema yang diinternalisasi melalui itu mereka merasakan, mengerti,
mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema-skema demikianlah
orang menghasilkan praktik-praktik mereka maupun merasakan dan mengevaluasinya.
Secara dialektis, habitus adalah “produk internalisasi struktur-struktur” dunia
sosial (Ritzer, 2012:904). Sehingga bisa dikatakan bahwa habitus adalah
struktur sosial yang diinternalisasi sehingga menjadi suatu kebiasaan yang
terus diwujudkan. Jadi masyarakat setempat
telah terinternalisasi dari sebuah kebiasaan-kebiasaan sejak kecil, seperti
halnya tidak menyisiri rambut si gembel, memenuhi setiap
keinginannya, menanyakan perihal
keinginan si gembel untuk pemotongan, kebiasaan mencukur pada usia 7
tahun dan lain-lain.
Teori lain yang juga berlaku atas fenomena ini adalah teori
fungsionalisme oleh Bronislaw Malinowski. Teori ini menyebutkan bahwa “kebutuhan
menurut malinowski adalah sistem organisme manusia di dalam perangkat
kebudayaan dan hubungan dengan alam sekitar yang cukup dan diperlukan bagi
kelangsungan hidup.” . Malinowski mengemukakan istilah Cultural Determinism menyatakan
bahwa istilah ini menunjuk beberapa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat sebenarnya ditentukan oleh “kebudayaan” yang dimiliki masyarakat
bersangkutan (Purwanto, 2007:21). Teori ini sangat selaras dimana salah satu
keisitimewaan anak gimbal adalah saat gimbal akan tumbuh maka ia akan mengalami
panas yang tinggi, mungkin itu cara alam menunjukkan keberadaannya diantara
mereka karena secara medispun tidak menemukan penjelasan secara ilmiah.
Keistimewaan lainnya adalah saat tradisi pemotongan dimana apapun keinginan
mereka harus dipenuhi, sedangkan kita tidak tau darimana keinginan itu bisa
muncul, mungkin itu cara alam berkomunikasi dengan mereka
Menjadi gembel bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah takdir
yang memang harus diterima. Sebenarnya apa yang menjadi korelasi antara alam
dan anak gimbal tersebut. Apakah mungkin bahwa menjadi gimbal adalah sebuah
seruan alam terhadap masyarakat melalui si gembel. Terdapat
pola-pola yang membedakan anak gimbal dengan anak yang lainnya (tidak gimbal).
Ada proses kemunculan rambut gimbal yang merubah kehidupan anak tersebut, yang awalnya sama
seperti anak biasa (tidak gimbal). Jadi ada tiga waktu yang membedakan, yaitu
sebelum tumbuh rambut gimbal, ketika proses tumbunya dan setelah pemotongan
rambut gimbal. Anggota masyarakat merasakan kesakralan gimbal melalui pola-pola
yang terjadi dan dialami oleh berbagai aspek masyarakat.
Saat mereka gimbal
sebenarnya ada banyak hal yang masih saya pertanyakan dari sebuah fenomena yang
sangat langka terjadi. Bagaimana ia bisa “mendadak” menjadi gimbal dan apa
korelasinya dengan kesakralan-kesakralan yang melekat pada diri mereka. Lalu
bagaimana keterkaitan antara si gembel dan
alam sekitar, mengapa mereka harus meminta sesuatu yang akan dikabulkan saat
acara selametan ketika ia sudah berusia 7 tahun. Tidak ada jawaban pasti yang
kami terima dari hasil lapangan kami, kemugkinan ini adalah sebuah
“tanda-tanda” yang masih belum bisa direpresentasikan masyarakat disana.
Hal lain yang cukup menarik adalah
adanya sebuah tradisi baru yang diadakan setiap tahunnya di daerah Dieng yakni
“Dieng Culture Festival”. Acara ini
berlangsung setiap setahun sekali saat Bulan
Sura (penanggalan jawa). Festival ini baru diadakan sekitar 6 tahun yang
lalu dan ditujukan untuk mereka para anak gimbal yang akan mencukur rambut
mereka secara masal. Pencukuran di Dieng dilakukan sebagai apresiasi pemerintah
Dieng terhadap keberadaan anak gimbal yang menjadi salah satu ciri khas daerah
setempat. Pemerintah memfasilitasi bagi orang tua yang ingin mencukur rambut
anaknya tanpa harus mengeluarkan uang dan justru akan disediakan apapun yang
menjadi keinginan anak tersebut sebagai syarat lumrah saat pemotongan. Ritual
pemotongan sebenarnya tidak jauh beda dengan selametan yang dilakukan dirumah,
karena pemotongan juga dihadiri tetua adat dan dipotong oleh dukun bayi.
Kesimpulan
Dalam batasan terdahulu telah
disebutkan, bahwa kebudayaan adalah semua hasil cipta, karsa, rasa dan karya
manusia dalam hidup bermasyarakat. Hasil cipta karya manusia dalam hidup
bermasyarakat menghasilkan benda-benda yang memiliki kegunaan dalam emenuhi
kebutuhan manusia melalui pemanfaatan dan penguasaan lingkungan alam
sekeliling. Sementara itu karsa-karsa manusia dalam hidup bermasyarakat mewujud
dalam bentuk norma dan nilai-nilai sebagai petunjuk atau pedoman tentang
bagaimana manusia harus bersikap dan bertindak dalam pergaulan hidup. Dalam
rangka pengembangan nilai dan norma tersebut dinyatakan bahwa setiap masyarakat
tentu memiliki pattern of behavior
sebagai pola perilaku yang dianggap tepat dan baik. Konsep tersebut erat
kaitannya dengan ideal culture.
Anak
gimbal sebagai salah satu wujud keistimewaan yang diberikan Tuhan kepada masyarakat
Dieng dan Banjarnegara menjadi wujud nyata bahwa segala kemungkinan bisa
terjadi. Alam memberikan tanda “keberadaannya” ditengah-tengah kehidupan yang
“normal” pada masyarakat tersebut. Sebenarnya masyarakat sendiri juga belum
sepenuhnya paham apa esensi dan mengapa bisa muncul kegimbalan pada anak-anak
tertentu. Karena menjadi gembel bukan
sesuatu yang diharapkan, melainkan sesuatu yang memang harus diterima. Dalam
menjalani kehidupan sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak
gimbal dengan anak biasanya. Bahkan perlakuan “istimewa” tersebut hanya
berlangsung saat dia gimbal sampai saat pemotongan, selebihnya ia bahkan akan
dianggap “normal”. Namun, realita menunjukkan bahwa masyarakat Kaliputih masih
menganggap kesakralan dari anak gimbal yang ada walaupun sebenarnya mereka
belum begitu paham makna dari kehadiran rambut gimbal itu sendiri. Pada
dasarnya memang mereka tidak terlalu paham apa maksud dari kegimbalan itu
sendiri, mereka menerima itu saja sebagai sebuah takdir.
Hingga saat ini masyarakat setempat
masih menganggap kesakralan itu sebagai sebuah tradisi turun temurun. Jadi, apa
yang mereka perlakukan pada anak gimbal didasari atas sebuah
kebiasaan-kebiasaan yang sudah sering dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Purwanto.
2007. Sosiologi untuk Pemula. Media
Wacana : Yogyakarta
Ritzer,
George. Teori Sosiologi Dari Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar