Review Buku : Turkle, S. (2011). Alone Together


Alone Together,” karya Sherry Turkle (2011) berangkat dari sebuah perenungan tentang kehilangan manusia akibat relasinya dengan teknologi. Turkle adalah seorang psikoanalis dan profesor di MIT, Amerika. Turkle menawarkan kesendirian dan keterpisahan dari teknologi sebagai hal sakral yang menjadikan kita manusia seutuhnya. Bahwa tidak apa-apa bersalah dan memperlihatkan kelemahan kita dalam relasi tatap muka yang tidak bisa kita kontrol. Bagaimana pun juga, bukanlah koneksi yang terpotong-potong dan terkontrol, namun justru kerapuhan tatap mukalah yang membuat kita mengenal diri dan orang lain sepenuhnya. Turkle memperingatkan kita supaya kita dapat menyesuaikan pengembangan teknologi kita yang masih panjang di depan menjadi lebih bersahabat bagi relasi satu sama lain, bagi kesejahteraan tubuh dan jiwa kita. Memang, psyche manusia akan terus berevolusi sesuai konteks zaman

Dalam buku ini kita dapat melihat dua bagian pembahasan utama dalam pokok kajian mengenai teknologi, yakni “The Robotic Moment” dan “Networked”. Dalam bagian  The Robotic Moment”, Turkle membahas mengenai relasi yang terbangun antara manusia dan robot. Baginya kenyataan bahwa saat ini orang cenderung memiilh relasi dengan robot daripada manusia sungguhan. Keberadaan robot ini memiliki  kecenderungan manusiawi kita untuk “berempati” kepada binatang peliharaan. Rupanya robot dihadirkan dengan mengambil manfaat dari titik rapuh kita, yaitu perasaan dan kemanusiaan kita. Turkle tampak terkejut dengan kenyataan bahwa mereka tampak nyaman dengan relasi yang artifisial tersebut. kenyataan bahwa sang manusia sedang merasa dipahami oleh sesuatu yang tidak akan pernah memahaminya.

Pada bagian “Networked” Turkle beralih dari relasi manusia dengan robot kepada pembahasan mengenai teknologi sebagai perantara hubungan antar manusia. Meski Turkle mengakui adanya dampak positif perkembangan teknologi bagi relasi antar manusia, studi-studi kasusnya memperingatkan bagaimana orang menjadi teralienasi satu sama lain karena teknologi. Mereka menggunakan teknologi sebagai perantara relasi karena kecemasan mereka terhadap ketidakpastian, kekacauan, dan banyaknya beban dari hubungan tatap muka Kita bisa mengkonstruksi dan merekonstruksi kehadiran diri secara – dalam istilah Turkle – “not too little, not too much, just right.”

Ketika kita kehilangan kemampuan berelasi dengan orang lain dan menanggung risiko-risikonya, kita juga kehilangan kemampuan untuk bercakap-cakap dengan diri kita sendiri dan menanggung risiko pengenalan diri. Turkle memperingatkan bahwa berbagi (sharing) telah menggantikan refleksi diri sebagai sarana relasi kita dengan psyche kita sendiri. Teknologi yang kita anggap membuat kita terkoneksi dengan orang lain justru membuat kita semakin sendirian di dunia ini. Koneksi dengan teknologi menjadi pemangsa tujuannya. Kita sangat takut sendirian. Bila smartphone kita kehabisan baterai, kita cemas.

Masyarakat jejaring adalah sebuah konsep dimana anggota-anggota masyarakat berjejaring dengan memanfaatkan internet melalui perantara media sosial. Kondisi ini merupakan fenomena baru, dimana perkembangan teknologi informasi mampu mengalihkan bentuk-bentuk interaksi langsung ke arah tidak langsung. Dulu, pola interaksi antar anggota masyarakat hanya berdasarkan jaringan fisik seperti etnis atau relasi status sosial. Akibatnya, kini seseorang dapat berjejaring dengan siapa saja dalam hubungan yang termediasi.

Dalam arena baru ini, orang-orang bersosialisasi di ruang virtual tanpa mencerabut identitas mereka yang sebenarnya, di mana tubuh mereka terikat dengan ruang spasial yang nyata. Media social ini sekiranya mampu mengontruksi serta terkonstruksi oleh diri kita sendiri. Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat berpengaruh terhadap perkembangan situasi global saat ini. Pada kenyataannya, teknologi informasi selalu memberikan feedback baik secara negative maupun positif.  Perkembangan media social juga memengaruhi pada perubahan tatanan kehidupan masyarakat berupa pola pikir dan perilaku masyarakat.

Faktanya, mekanisme industrial yang menghasilkan produk-produk teknologi dibesarkan secara terus-menerus oleh investasi dan spekulasi modal. Namun, nilai serta kekuatannya ditentukan oleh berbagai banyak pihak yang menjadi pemain di dalamnya. Ruang sipil dapat diwujudkan dalam berbagai lingkungan komersial, kendati ancaman komodifikasi selalu ada bagi penggunanya baik individu maupun kelompok.

Fenomena ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji, dimana perkembangan teknologi informasi memunculkan transformasi sosial di masyarakat. Tantangan kita sebagai seorang ahli ilmu social melihat perkembangan teknologi bukan hanya sekedar penggiringan opini masa terkait dunia yang berkemajuan, dalam konteks lain kita harus bisa peka terhadap manusia itu sendiri. Perkembangan ini sangat terlihat bahwasannya kenikmatan serta kemudahan dari perkembangan teknologi informasi semakin menyingkirkan peran manusia itu sendiri. Atau kata yang lebih relevan kita adalah budak TI (?). beberapa fenomena dengan adanya era distrupsi, system robotic, kemanusiaan yang semakin tersingkirkan, dan setiap orang berlombang-lomba memenuhi hasrat dan kemauan mereka dalam ruang kontestasi baru ini. Seperti yang kita lihat teknologi sudah menjadi “Tuhan” kita saat ini, betapa kita memuja, mengagungkan akan apa yang dikatakan era revolusi 4.0 yang “katanya” era kebermajuan. Perkembangan ini dalam perspektif lain juga menimbulkan beberapa masalah social dimana ruang kontestasi semakin lebar dan inilah tugas kita untuk bisa membenahi pengguna perkembangan teknologi saat ini, karena teknologi infomasi itu sendiri sangat tidak kita pungkiri kita cegah kedatangannya.

Sebuah studi yang dilakukan McKinsey Global In Institute menyatakan bahwa sebanyak 375 juta pekerjaan akan digantikan oleh mesin pada tahun 2030. Pekerjaan yang paling rentan digantikan oleh otomasi termasuk pekerjaan fisik dalam lingkungan yang terprediksi. Mengutip CNN Money, Kamis (30/11/2017), pekerjaan seperti itu termasuk di antaranya adalah mengoperasikan mesin dan mempersiapkan makanan cepat saji. Pengumpulan dan pemrosesan data juga rentan digantikan mesin. Sekitar 6 juta sampai 7,5 juta pekerjaan yang saat ini ada di Amerika Serikat berisiko digantikan oleh robot dalam 10 tahun ke depan. Secara keseluruhan, jumlah tenaga kerja ritel di AS mencapai 16 juta pekerja. Robot-robot tersebut diprediksi berupa layanan otomasi di kasir. Perubahan dari satu jenis pekerjaan ini saja diproyeksikan bakal memangkas jutaan lapangan kerja.

Di samping itu, pekerjaan pemasaran juga dipandang bakal berkurang. Hal ini sejalan dengan semakin banyaknya konsumen yang menggunakan ponsel dan komputer layar sentuh untuk menemukan produk yang mereka butuhkan. Salah satu alasan otomasi yang bakal dilakukan oleh para peritel adalah meningkatnya persaingan dengan e-commerce. Pasalnya, peritel harus seefisien mungkin untuk dapat bersaing. Amazon, misalnya, telah menggunakan banyak robot dalam pusat pemenuhan produknya sehingga campur tangan para pekerja amat sedikit pada setiap pesanannya. Di Indonesia sendiri adalah Matahari Departemen Store yang mulai tutup gerai secara fisik namun tetap “hidup” melalui penjualan via online. Sudah jelas ini merupakan era distrupsi dimana lapangan pekerjaan yang tidak menyerap tenaga manusia, kalaupun dibutuhkan tetap dalam jumlah yang tidak banyak.

 

Sumber data :

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/05/22/130419326/di.as.6.juta.pekerjaan.ritel.terancam.digantikan.robot diakses pada 13 Maret 2017 pukul 21.22

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/30/080000426/pada-2030-sebanyak-375-juta-pekerjaan-digantikan-mesin diakses pada 13 Maret 2017 pukul 21.24


Komentar