FENOMENOLOGI
Latar Belakang
Ciri-Ciri
Metode Fenomenologi
Fenomenologi
sendiri secara harafiah berarti refleksi atau studi tentang suatu fenomena (phenomena). Fenomena
adalah segala sesuatu yang tampak bagi manusia. Fenomenologi terkait dengan
pengalaman subyektif (subjective experience) manusia atas sesuatu (http://rumahfilsafat.com/tag/fenomenologi/)).
Fenomenologi beranjak dari filsafat sebagaimana dicetuskan oleh filsuf Jerman
Edmund H Husserl (1859-1938). Walaupun acap kali tampak ada kesimpangsiuran
dalam definisinya (sebagai paradigma, aliran filsafat, bahkan sebagai metode
atau penelitian kualitatif itu sendiri), pada hakikatnya fenomenologi adalah
upaya menjawab pertanyaan : Bagaimanakah struktur dan hakikat pengalaman
terhadapa suatu gejala bagi sekelompok manusia? Husserl, misalnya, memandang
fenomenologi sebagai pengkajian terhadap cara manusia memerikan benda-benda dan
hal-hal disekitar, dan mengalami melalui indra-indranya. Hanya dengan
memerhatikan persepsi dan makna yang menggugah kesadaran kitalah maka kita
dapat mengenali apa yang dialami (Suyanto,2005,168). Menurut Embree (1997)
dalam Salim (2006;167), untuk menolong
memahami makna dari istilah yang tidak popular ini, seorang fenomenolog sering menempuh
cara-cara dibawah ini :
1. Fenomenolog
berkecenderungan untuk menemtang atau meragukan hal-hal yang diterima tanpa
melalui pengamatan terlebih dahulu, serta menetang sistem besar yang dibangun
dari pemikiran yang spekulatif.
2. Fenomenolog
berkecenderungan untuk menentang naturalisme (juga disebut sebagai objektivitas
atau positivisme), yang tumbuh meluas dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
modern dan telah menyebar di daratan Eropa bagian utara semenjak zama
Renaissance.
3. Secara
positif, fenomenolog berkecenderungan untuk membenarkan pandangan atau persepsi
(dalam beberapa hal, juga evaluasi dan tindakan) yang mengacu pada apa yang
dikatakan oleh Husserl sebagai evidenz,
yakni terdapatnya kesadaran tentang kebenaran itu sendiri sebagaimana yang
telah terbuka secara sangat jelas, tegas perbedaannya dan menandai sesuatu yang
disebut sebagai ‘apa adanya seperti itu’.
4. Fenomenolog
cenderung mempercayai perihal adanya, bukan hanya dalam arti dunia cultural dan
natural, tetapi juga adanya objek yang ideal seperti jumlah, dan bahkan juga
berkenaan dengan kehidupan tentang kesadaran itu sendiri yang dijadikan sebagai
bukti, dan oleh karenanya menjadi diketahui.
5. Fenomenolog
berkecenderungan untuk memegang teguh prinsip bahwa periset harus memfokuskan
diri pada sesuatu yang disebut ‘menemukan
permasalahan’ sebagaimana yang diarahkan kepada objek dan pembetulannya
terhadap objek sebagaimana ditemukan permasalahannya. Terminologi ini memang
tidak secara luas digunakan, dan utamanya digunakan untuk menekankan
permasalahan ganda dan pendekatan reflektif yang diperlukan.
6. Fenomenolog
berkecenderungan untuk mengetahui peranan deskripsi secara universal,
pengertian a-priori atau ‘eiditic’ untuk menjelaskan tentang
sebab-akibat, maksud atau latar belakang.
7. Fenomenolog
berkecenderungan untuk mempersoalkan tentang kebenaran atau ketidakbenaran
mengenai apa yang dikatakan oleh Husserl sebagai transcendental phenomenological epoche, dan penyederhanaan
pengertiannya menjadi sangat berguna dan bahkan sangat mungkin untuk dilakukan.
Sejarah
Perkembangan dan Sebarannya
Dalam
sejarahnya, fenomenologi adalah hasil refleksi pemikiran filosofis dari Edmund
Huserl di Jerman sekitar tahun 1890-an. Menurut Denzin (1994:7) dalam Salim (2006:168)
pada masa itu penelitian kualitatif sedang berada pada periode tradisional yang
terus-menerus berkembang sampai masa Perang Dunia II. Sebelum masa Perang Dunia
I, Fenomenologi menyebar ke Jepang, Rusia dan Spanyol, dan mulai merambah ke
berbagai disiplin ilmu, dari dunia filsafat sampai psikiatri.
Pada
tahun 1920-an, fenomenologi menyebar ke Australia, Prancis, Hongaria, Belanda
dan sekitarnya. Di Polandia dan Amerika Serikat, fenomenologi digunakan dalam
penelitian bidang komunikasi (simbolisme), pendidikan, musik dan agama. Pada
masa itu, orang terkemuka dalam penelitian kualitatif, Malinowsky menyatakan
bahwa pada masa 1930-an fenomenologi
telah meyebar ke Cekoslowakia, Italia, Korea dan Yugoslavia yang kemudian
merambah ke bidang arsitektur, kesusastraan dan teater.
Fenomenologi
menyebar ke Portugis, Skandinavia dan Afrika Selatan, serta merambah ke bidang ethnicity, film, gender dan ilmu politik
seusai Perang Dunia II. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, fenomenologi menyebar
ke Kanada, Cina dan India. Dalam pendekatan interpretive-practice
, Alfred Schultz menjadi tokoh kunci yang menjembatani social phenomenology dengan fenomenologi filsafat dari Husserl. Pada
pendekatan ini, subjektivitas dipandang sebagai titik kunci untuk membuat objek
menjadi bermakna. Di dalamnya, periset menggunakan teori interpretive (fenomenologi, etnomrtodologi, critical theory dan feminism). Menurut Becker (1961) dalam Salim (2006;169),
masa ini dikenal sebagai masa keemasan penelitian kualitatif, yang ditandai
antara lain oleh pembahasan yang terkemuka melalui Boys in yang mulai merambah pada ilmu geografi, hukum dan
psikologi.
Pada
tahun 1980-an dan menginjak 1990-an, fenomenologi menyebar ke Inggris Raya.
Pada masa ini, berbagai macam teori seperti interaksionisme simbolik,
konstruktivisme, naturalistic inquiry, positivisme
dan post-positivisme, fenomenologi, etnometodologi, teori kritis (Marxis),
semiotika, strukturalisme, feminisme dan berbagai paradigma etika. Tokoh
terkemuka pada masa ini adalah Clifford
Geertz, melalui dua bukunya : The
Interpretation Cultures (1973) dan Local
Knowledge (1983). Selanjutnya fenomenologi mulai merambah ke bidang
ekologi, etnologi, kedokteran dan keperawatan.
Pada
masa krisis respresentasi, timbul ketidakpercayaan kepada para informan yang
memiliki tendensi berdusta dalam memberikan informasi. Stoller dan Olkes
menjadi tokoh yang mempertanyakan kebenaran informasi yang ada dalam
fenomenologi. Krisis ini ditambah lagi dengan krisis legitimasi dalam konteks kriteria
tradisional untuk mengevaluasi dan menginterpretasi (Salim,2006:170). Pemikiran
fenomenologi yang dikemukakan Husserl kemudian menjadi gerakan filosofis yang
amat penting di abad ke-20.
Perkembangan
Fenomenologi
Perkembangan
fenomenologi telah berkembang mencakup bidang yang luas dengan memuat isu yang
bersifat multi-disiplin. Pokok pemikiran fenomenologi bermula dari pemikiran
Husserl yang kemudian dikenal sebagau Logische
Untersuchungen (1900-1910), ketika ia menyerang kedudukan psychologism (bukan dalam pengertian
Psikologi, melainkan segi kejiwaan dalam konteks filosofi) tatkala berupaya
menerima logika dalam kehidupan empiris. Husserl juga merefleksikan
kencenderungan terhadap matematika, bahasa, persepsi dan berbagai macam
representasi seperti kehendak, imajinasi dan memori. Selain itu, pendapat
tersebut juga menjelaskan cara-cara agar objek ideal dapat diperlakukan sebagai
bukti dan juga sebagai pengetahuan.
Pada awal perkembangannya,
fenomenologi dicirikan oleh descriptive
phenomenology, descriptive phenomenology, yakni pembuktian secara
deskriptif atas dua bentuk temuan: (i) permasalahan dan (ii) objek sebagai
permasalahan. Pembagian ini yang membentuk empat percabangan besar dalam
fenomenologi.
a. Realistic Phenomenology
Percabangan
ini menekankan pencarian persoalan universal manusia ditinjau dari berbagai
objek, yang meliputi tindakan, motif tindakan, serta nilai kepribadian. Dalam
kecenderungan ini, beberapa ilmuwan menambahkan beebagai sudut pandang kajian
seperti filsafat hukum (Adolf Reinach), etika, teori nilai, agama dan
antropologi filsafat (Max Scheler), filsafat tentang ilmu pengetahuan manusia
(Edith Stein) yang kini dikenal sebagai gender, estetika, arsitektur, musik,
kesusastraan dan film (Roman Ingarden). Tokoh yang mensukseskan perkembangan
fenomenologi di Jerman (1920-an ) adalah Alexander Pfander, Herbert Spielberg
dan Karl Schuhman dan Bari Smith.
b. Constitutive Phenomenology
Percabangan
ini di kemukakan Husserl sekitar tahun
1913 melalui Ideen zu einer reiven
Phanimenologie und phanomenologischen Philosophie. Pendapat ini merupakan
pengembangan dari filsafat ilmu pengetahuan alam. Pandangan ini lalu
dikembangkan oleh Oskar Becker, Aron Gurswitsch dan Elizabeth Stoker, terutama
tentang fenomenologi, semua metode transcendental
phenomenological epoche dan penyederhanaannya. Dalam pemikiran Alfred
Schultz (tokoh pembawa fenomenologi ke Amerika), masyarakat membentuk dunianya
sendiri melalui kesadaran constitutive maupun
kesadaran reconstitutive, yang melakukan tindakan apa adanya (taken for granted) . George Ritzer
menyadari bahwa walaupun masyarakat mempunyai seperangkat pengetahuan tentang
dunianya (stock of knowledge), namun
kenyataannya tidak sempurna dalam menginterpretasikan objek tersebut. Stock of knowledge terdiri dari akal sehat ddan kategori dimana
asal dunia sosial itu.
c. Existential Phenomenology
Percabangan
ini dimuali dari pemikiran Martin Heidegger yang menggunakan kehidupan manusia
sebagai cara dalam ontologi fundamental yang bergerak melampaui ontologi
regional yang disampaikan Husserl. Hannah Arendt menjadi orang pertama dengan kecenderungan
berpikir pada topik-topik seperti tindak kekerasan, konflik, kerinduan,
kekuasaan dan kematian.
d. Hermeneutical Phenomenology
Metode
yang disebut Platous Dialektische ini berkembang di lanjut setelah periode
Sosialis-Nasionalis Jerman (1960). Isu utama yang dikembangkan meliputi semua
kecenderungan yang dikembangkan oleh tiga pendekatan terdahulu.
Kerangka Metodologis
Data dari fenomena sosial yang diteliti dapat dikumpulkan dengan
berbagai cara, diantaranya
observasi dan interview. Data yang diperoleh
dengan in-depth interview dapat
dianalisis proses analisis data dengan Interpretative Phenomenological Analysis. Tahap-tahapnya dapat dilaksanakan sebagai berikut :
1. Reading
and Re-reading
Dengan
membaca dan membaca kembali
peneliti menenggelamkan diri dalam data
yang original. Bentuk kegiatan tahap ini adalah menuliskan transkrip interview
dari rekaman audio ke dalam transkrip dalam bentuk tulisan. Imajinasi
kata-kata dari partisipan ketika dibaca dan dibaca kembali oleh peneliti dari
transkrip akan membantu analisis yang lebih
komplit. Tahap ini di
laksanakan untuk memberikan keyakinan
bahwa partisipan penelitian benar-benar
menjadi fokus analisis.
Peneliti memulai proses ini dengan
anggapan bahwa setiap kata-kata partisipan
sangat penting untuk masuk dalam fase analisis dan data kata-kata itu diperlakukan
secara aktif. Membaca kembali data dengan
model keseluruhan struktur interview untuk selanjutnya dikembangkan, dan juga memberikan kesempatan pada peneliti
untuk memperoleh pemahaman mengenai
bagaimana narasi-narasi partisipan secara bersama-sama dapat terbagi dalam beberapa bagian
2.
Initial Noting
Tahap ini menguji
isi dari kata, kalimat
dan bahasa yang
digunakan partisipan dalam level eksploratori. Analisis ini menjaga
kelangsungan pemikiran yang terbuka (open mind) dan mencatat segala sesuatu
yang menarik dalam
transkrip. Selain itu tahap ini juga memulai mengidentifikasi secara
spesifik cara-cara partisipan mengatakan tentang sesuatu, memahami dan
memikirkan mengenai isu-isu. Dalam praktiknya dimulai dengan membuat catatan pada transkrip. Peneliti
memulai aktivitas dengan membaca,
kemudian membuat catatan eksploratori atau catatan umum yang
dapat ditambahkan dengan membaca
berikutnya.
Analisis ini hampir sama dengan analisis
tekstual bebas. Di sini tidak ada aturan apakah dikomentari atau tanpa persyaratan seperti
membagi teks kedalam unit-unit makna dan
memberikan komentar-komentar pada
masing-masing unit. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk
menghasilkan seperangkat catatan dan komentar yang komprehensif dan mendetail
mengenai data.
Data
yang asli dari transkrip diberikan
komentar-komentar dengan menggunakan ilustrasi komentar eksploratori.
Komentar eksploratori dilaksanakan untuk
memperoleh intisari. Komentar eksploratori meliputi komentar deskriptif (descriptive comment), komentar
bahasa (linguistic comment) dan
komentar konseptual (conceptual comment)
yang dilakukan secara simultan.
3. Developing
Emergent Themes (Mengembangkan kemunculan tema-tema)
Meskipun
transkrip interview merupakan tempat pusat
data, akan tetapi data itu akan menjadi lebih jelas dengan diberikannya
komentar eksploratori secara komperhensif.
Dengan komentar eksploratori, maka pada
seperangkat data akan muncul secara substansial. Untuk memunculkan tema-tema,
peneliti melakukan perubahan data dengan menganalisis secara simultan, berusaha
mengurangi volume yang detail dari data
yang berupa transkrip dan catatan awal yang
masih ruwet (complexity) untuk di mapping ke saling hubungannya (interrelationship), hubungan (connection) dan pola-pola
antar catatan eksploratori. Pada tahap ini analisis terutama pada
catatatan awal lebih yang dari sekedar
transkrip. Komentar eksploratori yang dilakukan secara komperhensif sangat
mendekatkan pada simpulan dari transktip yang asli, termasuk untuk memfokuskan
sehingga sebagian besar transkrip menjadi jelas.
4.
Searching for connection a cross emergent
themes
Partisipan
penelitian memegang peran penting semenjak mengumpulkan data dan membuat
komentar eksploratori. Atau dengan kata lain pengumpulan data dan
pembuatan komentar eksploratori di
lakukan dengan berorientasi pada partisipan.
Mencari hubungan antar tema-tema yang muncul
dilakukan setelah peneliti menetapkan
seperangkat tema-tema dalam transkrip dan tema-tema telah diurutkan secara kronologis. Hubungan antar tema-tema ini
dikembangkan dalam bentuk grafik atau mapping dan memikirkan tema-tema yang
bersesuaian satu sama lain. Peneliti didorong untuk mengeksplore dan
mengenalkan sesuatu yang baru dari hasil penelitiannya dalam pengorganisasian
analisis. Tidak semua tema yang muncul harus digabungkan dalam tahap analisis
ini, beberapa tema mungkin akan dibuang.
Analisis ini tergantung pada keseluruhan dari
pertanyaan penelitian dan ruang lingkup penelitian. Mencari makna dari sketsa tema-tema yang muncul dan saling bersesuaian
dan menghasilkan struktur yang memberikan pada peneliti hal-hal yang penting
dari semua data dan aspek-aspek yang menarik dan penting dari
keterangan-keterangan partisipan
5.
Moving the next cases
Tahap
analisis 1- 4 dilakukan pada setiap satu kasus/partisipan. Jika satu kasus
selesai dan dituliskan hasil analisisnya maka tahap selanjutnya berpindah pada kasus atau partisipan berikutnya hingga selesai semua
kasus. Langkah ini dilakukan pada semua
transkrip partisipan, dengan cara mengulang proses yang sama.
6.
Looking for patterns across cases
Tahap
akhir merupakan tahap keenam dalam analisis ini adalah mencari pola-pola yang muncul antar kasus/partisipan. Apakah hubungan yang
terjadi antar kasus, dan
bagaimana tema-tema yang ditemukan dalam kasus-kasus
yang lain memandu peneliti
melakukan penggambaran dan
pelabelan kembali pada
tema- tema. Pada tahap
ini dibuat master
table dari tema-tema
untuk satu kasus
atau kelompok kasus dalam sebuah institusi/ organisasi.
Pemecahan Masalah
Contoh
permasalahan menggunakan metode fenomenologi
Lauterbach
(1993) meneliti lima wanita yang kehilangan bayinya ketika sedang hamil
(keguguran), dan memori serta pengalaman-pengalaman mereka atas peristiea ini.
Tujuan penelitian Lauterbach adalah sebagai berikut :
Sebagai upaya menyingkap makna
substantif suatu fenomena, penelitian fenomenologi ini berusaha
mengartikulasikan “esensi-esensi” makna dalam pengalaman kehidupan para Ibu
ketika bayi yang mereka sayangi meninggal dunia. Dengan menggunakan perspektif
feminis, focus penelitian ini adalah pada memori pada ibu dan pengalaman
kehidupan mereka. Perspektif ini mempermudah usaha menyingkap
pengalaman-pengalaman tersebut yang tertutup selama ini. Perspektif ini juga
membantu mengartikulasikan dan menyuarakan memori para ibu dan cerita
kehilangan mereka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi refleksi
fenomenologis atas data-data yang ada berdasarkan investigasi eksistensial pada
pengalaman para ibu, dan investigasi atas fenomena tersebut dalam konteks seni
kreatif.
(Creswell
(2013: 171) dalam Lauterbach (1993: 134)
Namun fenomenologi khususnya Husserl fenomenologi masih
terperangkap dalam konsep paradigma. Husserl ketika membicarakan tentang
"sumber terakhir dari segala pemahaman," ia berkata : sumber itu
bernama moi-meme (saya sendiri). Ini berarti ia melupakan
pekerjaan kolektif dari pembentukan alam objek dan sejarah. Pada
konsepnya "Aku transcendental" membuat Husserl terlampau larut
ke dalam masalah kesadaran, sehingga melupakan eksistensi yang kongkret
sehingga yang diperolehnya hanya gambaran yang ideal dan abstrak tentang manusia
Kesimpulan
Fenomenologi
beranjak dari filsafat sebagaimana dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H
Husserl (1859-1938). Walaupun acap kali tampak ada kesimpangsiuran dalam
definisinya (sebagai paradigma, aliran filsafat, bahkan sebagai metode atau
penelitian kualitatif itu sendiri), pada hakikatnya fenomenologi adalah upaya
menjawab pertanyaan : Bagaimanakah struktur dan hakikat pengalaman terhadapa
suatu gejala bagi sekelompok manusia? Husserl, misalnya, memandang fenomenologi
sebagai pengkajian terhadap cara manusia memerikan benda-benda dan hal-hal
disekitar, dan mengalami melalui indra-indranya. Hanya dengan memerhatikan
persepsi dan makna yang menggugah kesadaran kitalah maka kita dapat mengenali
apa yang dialami (Suyanto,2005,168). Pemilihan studi
fenomenologi memberikan kemungkinan
peneliti untuk melakukan analisis
data dengan Interpretative phenomenology analysis (IPA).
Dalam pengunaan IPA
penelitian mengikuti alur analsis
mulai dari 1) Reading and
re-reading; 2) Initial noting;
3)
Developing Emergent themes; 4)
Searching for connections across emergent themes; 5) Moving the next cases; 6) Looking for patterns across cases.
Daftar Pustaka
Buku
:
Salim,
Agus. 2006. Teori dan Paradigma
Penelitian Sosial. Tiara Wacana: Yogyakarta
Suyanto,
Bagong dan Sutinah. 2006. Metode
Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Kencana: Jakarta
Creswell,
John W. 2013. Research Design Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Website
:
Komentar
Posting Komentar